Sastra Indonesia Angkatan 50 – 60an
Diposting oleh Dhamar Arif Rahman | Label: tulisan | Posted On Rabu, 04 Juni 2014 at 08.14
Setelah
kami sudah bahas dari awal pergerakan sastra Indonesia yang diawali dari
angkatan Balai Pustaka, terus Pujangga Baru, terus Angkatan 45, nah, sekarang
kita masuk ke Angkatan 50-60an. Kenapa sih kami bahas buku-buku yang dicari aja
udah susah? Karena orang-orang lain udah banyak yang ngelupain buku-buku ini,
makanya kita harus melawan arus mainstream! Kudeta!! (biar enggak nyambung yang
penting orasi dulu)
Sastra
Angkatan 50-60an ditandai dengan adanya majalah sastra Kisah yang dipimpin oleh
H. B. Jassin, yang sering disebut sebagai Paul Sastra Indonesia. Hasil kerja
kerasnya masih bisa kita nikmatin sampe sekarang. Kamu bisa ke daerah Cikini,
cari deh Pusat Dokumentasi Sastra milik H.B. Jassin. Di tempat ini kamu bisa
liat rekam sejarah sastra Indonesia. Balik lagi ke soal sastra angkatan 50-an,
muncul juga nih gerakan komunis di kalangan sastrawan. Aktif banget ya
sastrawan-sastrawan era ini.Kalau kamu pernah dengar LEKRA (Lembaga Kebudajaan
Rakjat), nah ini nih tempat kumpulnya sastrawan-sastrawan yang mengusung konsep
sastra realisme-sosialis. Beraaaatttt. Kami juga kurang paham maksudnya apa,
tapi yang pasti mereka bekerja khusus di bidang kebudayaan, kesenian, dan ilmu
pengetahuan/ Nah karena adanya kubu-kubuan gini, pergerakan sastranya sendiri
jadi mandeg karena penulis-penulisnya malah masuk ke kancah politik praktis.
Puncaknya di tahun 1965, pas G30S meledak. Karena keliatan banget mana yang
pro-komunis dan anti-komunis. Duh..
Oke
sekarang kita bahas karya-karya sastra apa aja yang muncul di era ini.
- Gadis Pantai – Pramoedya Ananta Toer
Novel
ini adalah salah satu dari banyak karya Pramoedya, terbit di tahun 1965.
Ceritanya tentang wanita yang lahir di sebuah kampung nelayan di pantai utara
Jawa. Kalau di pantai selatan kayanya judulnya jadi Nyi Roro Kidul. Gadis
Pantai ini dinikahin sama salah seorang pembesar gitu, asal Bima, namanya
Bendoro. Saking berkuasanya dia, sampe enggak mau dateng ke pernikahannya
sendiri dan cuma diwarisin oleh sebilah keris. Dikiranya nikah apaan ya sama
ini orang. Bisa-bisanya cuma nyuruh keris buat ngewakilin. Setelah menikah,
Gadis Pantai tadinya maunya tetep tinggal di kampungnya. Tapi orang tuanya
nyuruh dia buat tinggal di kota, di rumahnya Bendoro. Akhirnya Gadis Pantai
nurut dan tinggal di sana. Sedihnya, di sana dia cuma tinggal sama
pembantu-pembantunya. Bendoro sendiri jarang juga dateng ke rumah itu. Macam
ada status tapi enggak ada hubungan gitu (mewakili teriakan banyak korban
persoalan hati). Sampe akhirnya Gadis Pantai tau kalau Bendoro mau nikah lagi
sama orang yang status sosial dan ekonominya sama dengan dia. Pas Gadis Pantai
ngelawan karena enggak mau dimadu (dangdut banget ya bahasa ‘dimadu’), dia
malah diusir dan anak perempuannya dengan Bendoro enggak dibolehin buat ikut
dibawa. Kasihan ya. Tapi emang ini yang terjadi pas masa itu. Apalagi di tahun
1920-an, orang-orang yang dari status sosial dan ekonomi yang lebih rendah
sering banget enggak diperlakukan dengan manusiawi. Pramoedya ngejelasin hal
ini dengan detail banget lewat novel Gadis Pantai. Nah, buat kamu yang masih
suka ngerendahin orang cuma karena status sosial dan ekonominya, boleh langsung
pergi ke masa lalu.
- Dua Dunia – N.H Dini
Setelah
selama ini, dari mulai tahun 1920an, pas era Balai Pustaka sampai era ’45
selalu didominasi oleh kaum pria, akhirnya di angkatan ini muncul juga
sastrawati. Kalau kamu heran kenapa nama N.H. Dini sering banget disebut-sebut
di ujian Bahasa Indonesia, ya ini penyebabnya. Akhirnya ada juga penulis wanita
diantara dominasi kaum pria. Buku dia yang terkenal di tahun 1950-an adalah Dua
Dunia, Buku ini berisikan kumpulan cerita pendek yang ditulis ketika dia masih
duduk di bangku SMA, yang salah satunya berjudul Dua Dunia. Ceritanya tentang
perjuangan Iswanti, seorang janda muda satu anak yang harus berjuang mencari
nafkah dan mempertahankan anak satu-satunya, Kanti, agar enggak direbut oleh
mantan suaminya Darwo. Penderitaan Iswanti sebenernya udah dari awal karena dia
dipaksa menikah oleh Darwo yang ternyata di kemudian hari, di depan matanya,
selingkuh sama cewek lain. Tapi menurut orang-orang sekitarnya, termasuk ibu
mertuanya, hal itu adalah kesalahan Iswanti, karena mereka masih menganut paham
patriarki. Pokoknya kalau cowok itu bakal lebih bener. Gitu deh intinya. Nah,
melalui buku ini, Nh Dini banyak banget protes soal ajaran Jawa yang menurut
dia terlalu berorientasi pada kepentingan lelaki. Enggak heran, Nh Dini juga
sering disebut sebagai feminis, karena melalui karya-karyanya, dia menyampaikan
argumennya kalau perempuan dipersiapkan menjadi istri yang baik, seharusnya
bukan berarti dia jadi istri yang selalu tunduk dengan kata-kata dan perlakuan
suami, meskipun sebenernya itu enggak sesuai. Harusnya, menurut Nh Dini,
perempuan dan lelaki punya kedudukan yang sama untuk berpendapat dan juga
merespon pendapat orang lain. Visioner sekali eyang yang satu ini.
- Tidak Ada Esok – Mochtar Lubis
Merupakan
novel yang diterbitkan pada tahun 1950. Novel ini bercerita tentang perjuangan
seorang tokoh bernama Johan, ketika masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan
dan paska kemerdekaan. Johan bersama pasukan lainnya hendak mengepung para
penjajah di sebuah hutan, tapi kemudian dia malah bertanya-tanya ke dirinya
sendiri dan jadi galau sendiri. Iya, pas perang pun ternyata orang bisa galau.
Tapi berkualitas pasti kalau galaunya pas perang. Johan galau karena ngeliat
temen-temennya yang banyak meninggal jadi korban perang. Dia jadi mikir, kalau
dua pihak enggak ada yang berhentiin perang, pasti akan lebih banyak orang yang
meninggal sia-sia. Tapi akhirnya dia mengambil kesimpulan harus ada yang
dikorbankan demi kemerdekaan negara. Berkualitas sekali galaunya Johan.
- Robohnya Surau Kami – A.A Navis
Wah
ini sih judulnya sering banget keluar di ulangan Bahasa Indonesia. Tapi tau
enggak, Robohnya Surau Kami ini adalah kumpulan 8 cerita pendek? Jarang yang
tau kan? Nah, buku yang diproduksi taun 1955 ini emang kumpulan cerita pendek,
salah satunya adalah cerpen yang Robohnya Surau Kami. Cerpen ini berkisah
tentang kritik A.A Navis kepada orang-orang beragam terlalu ekstrem sampe lupa
sama urusan dunia. Salah satu kalimat yang paling terkenal dari cerpen ini
adalah: “apakah Saya gila akan pujian dan saya haus akan penyembahan”, sahut
Tuhan. Wah, boleh nih kalimat ini disampaikan langsung ke FPI.
- Balada Orang-orang Tercinta – W.S Rendra
Buku
ini berisi 19 kumpulan puisi yang ditulis oleh W.S Rendra dan dipublikasiin
tahun 1957. Walaupun judul bukunya Ballada Orang-orang Tercinta, tapi nuansa
puisi-puisinya gelap, kelam, banyak kesedihan dan kematian. Misalnya, ada satu
puisi di buku itu yang judulnya Balada Ibu yang Dibunuh. Laah, Ibu yang Dibunuh
kok jadi balada. Gimana ini. Menurut kami, puisi-puisi di buku ini mungkin
memang menggambarkan suasana paska kemerdekaan yang masih kelam, meskipun ada
senengnya juga karena akhirnya merdeka. Buat lebih jelasnya, kamu bisa cari
tahu sendiri tentang buku ini.
Sastra
di angkatan ini emang lebih fresh karena selama ini selalu didominasi oleh kaum
pria tapi sekarang ada Nh. Dini. Di era ini, emang lagi jamannya orang-orang
protes. Enggak heran, karya sastranya juga kental banget dengan protes mengenai
kehidupan pada saat itu yang masih feodal dan masih ngebedain manusia dari
gender dan status sosial serta ekonominya. Makanya, udah enggak jaman lagi
masih deskriminasi orang cuma karena gender atau status sosial ekonominya.
Pertanyaan
dari kami: udah berapa buku yang dibaca minggu ini?
Merkur - Fairest Casino Review 2021 - DCCASINO.COM
Read our review of หารายได้เสริม Merkur Casino to find out more about the overall quality deccasino of products, games 1xbet korean and customer support.