SISTEM INFORMASI, BUDAYA DAN FENOMENANYA DIDALAM MASYARAKAT

Diposting oleh Dhamar Arif Rahman | Label: | Posted On Kamis, 10 Maret 2011 at 04.26

SISTEM INFORMASI, BUDAYA DAN FENOMENANYA DIDALAM MASYARAKAT

Fenomena Sistem Informasi terhadap budaya dalam masyarakat

Perkembangan teknologi tentu membawa pengaruh besar di dalam masyarakat, salah satunya adalah globalisasi. Pengaruh globalisasi sangat erat terhadap masyarakat kita, salah satunya adalah terhadap masuknya  budaya barat kedalam tatanan budaya di Indonesia, dulu petani kita banyak yang menggunakan kerbau sebagai alat pembajak sawahnya, namun sekarang sudah sedikit petani yang mengunakan kerbau sebagai alat kerja mereka, kebanyakan kerbau sudah di ganti dengan traktor, padahal kerbau sudah menjadi alat tradisional masyarakat dalam membajak sawah-sawah mereka. Mengapa globalisasi dapat berkembang dengan luasnya ? hal itu dikarenakan Sistem Informasi yang berkembang didunia ini. Banyak sekali pertimbangan-pertimbangan para petani dalam memilih traktor pembajak sawah dalam kegiatan ekonomi mereka, salah satu pertimbangannya adalah dalam hal daya tahannya. Mesin tentu lebih lama bekerja daripada kerbau yang notabene alah makhluk hidup, karena petani dituntut untuk dapat menggarap lahan seluas-luasnya untuk media tanam padi dan dapat menghasilkan uang yang lebih.

Fenomena Sistem informasi lainnya adalah Gosip, ya gosip di Indonesia tentu banyak sekali disebarluaskan dalam masyarakat kita melalui TV dirumah-rumah. Gosip ini bagaikan pisau bermata dua bagi pihak yang terkena gosip. Dari sisi positifnya, hal ini dapat menambah popularitas seseorang, tergantung dari gosip positif atau gosip negative yang berkembang dimasyarakat. Namun, apabila gosip negative telah terlanjur beredar, maka dapat membuat seseorang menjadi jatuh.  

Berikut adalah salah satu berita mengenai gosip.
Menteri Kebudayaan Kecam Berita Gosip
MINGGU, 08/08/2010 - 06:10
BEIJING, (PRLM).- Menteri kebudayaan Cina, Cai Wu mengecam media penyiaran dan tulis karena membuat program vulgar dan norak. Cai Wu mengatakan penerbitan Cina penuh dengan gosip dan cerita sensasional yang mengagung-agungkan uang.
Dia menuduh pemerintah daerah mengeluarkan dana untuk "projek kesombongan" bukannya bagi fasilitas kebudayaan mendasar. Cai memandang hal ini disebabkan Cina bergerak ke arah ekonomi pasar. Seperti diketahui, Cai Wu adalah mantan pimpinan kantor informasi Cina.
Pernyataannya disampaikan lewat wawancara dengan kantor berita pemerintah "Xinhua". Dia mengecam apa yang dia sebut "berita vulgar" yang memuja uang dan konsumerisme. "Kami menerbitkan 300 ribu buku setiap tahun, tetapi hanya sedikit yang dapat disejajarkan dengan naskah nenek moyang," katanya, seperti dikutip "BBC".
"Kami memproduksi 400 film dan ratusan program drama TV setiap tahun, tetapi berapa banyak yang dapat dianggap sebagai karya klasik?" ujarnya.
Dia menambahkan, saat ini, kebudayaan dan ekonomi suatu negara tidak bisa dipisahkan. Pemerintah harus lebih memperhatikan kebudayaan dan keaslian jika bermaksud memperbaiki kualitas pembangunan ekonomi. Cai mengatakan "penerbitan vulgar" adalah hasil negatif langkah Cina menuju ekonomi pasar.
Bulan Juni, badan pengawas media Cina mengeluarkan panduan setelah muncul kekhawatiran terhadap acara kencan di TV. Pembuat program dituduh mendorong peserta untuk bertindak tidak sopan agar acara lebih menarik.(A-147)***
Dari hal diatas tentu globalisasi menjadi salah satu hal negative didalam suatu budaya msayarkat, namun bukan berarti globaslisasi tidak mempunyai sisi positifnya, berikut adalah sisi positifnya.

Dunia dalam Genggaman, Dunia Penuh Risiko

Senin, 23 November 2009 - 15:23 wib
Koran SI - Koran SI

(Ilustrasi: promotheus.net.au)
Situs jejaring sosial seperti Friendster, Facebook, Twitter, Netlog mewabah dalam beberapa tahun belakangan ini dan mengiringi apa yang dikenal umum sebagai globalisasi.

Ia mengubah pola hubungan sosial, baik vertikal (masyarakat dengan negara dan pasar/market) maupun horisontal (antaranggota masyarakat, kelompok sosial).  Dengan kecanggihan teknologi dan aneka fasilitas yang ditawarkannya, ia membuat dunia seolah-olah mengecil sekaligus menarik.

Dampak dari perubahan pola hubungan sosial tersebut bermacam-macam. Ia bisa bergerak ke segala arah, bahkan sering tak terbayangkan sebelumnya, baik dalam pengertian positif maupun negatif. Dengan kata lain, dunia menarik yang berada dalam genggaman jari-jemari kita itu ternyata penuh risiko. Namun, ini pulalah mungkin yang membuat banyak orang kecanduan situs jejaring sosial.

Dunia dalam Genggaman


Kecanggihan teknologi yang melekat dalam berbagai situs jejaring sosial membuat hubungan sosial tak lagi terikat oleh jarak. Kita bisa berkomunikasi dengan kawan-kawan di luar negeri pada waktu yang nyata (real time), sama seperti kita sedang bercakapcakap dengan tetangga sebelah rumah atau istri di tempat tidur.

Pada titik tertentu, situs jejaring sosial juga "tak terikat pada waktu". Ia sanggup menghadirkan masa lalu kita melalui pertemuan kembali dengan kawan-kawan semasa kecil yang puluhan tahun tak jumpa, entah ada di mana, lalu tiba-tiba hadir di depan layar komputer dalam bentuknya yang "nyata" (foto, tulisan, ucapannya yang khas, dan sebagainya).

Dalam berbagai kasus, hubungan-hubungan sosial dalam situs jejaring sosial dapat membentuk semacam komunitas, dengan level hubungan yang intensif (personal, politis, ideologis), kode-kode kultural yang hanya dipahami anggota situs, keprihatinan yang sama, adanya kenyamanan, kehangatan, perlindungan, pemberian informasi spesifik, dan seterusnya.

Singkatnya, situs jejaring sosial membuat dunia seolah berada dalam genggaman, menarik, dan mempermudah hidup. Kadangkala, hubungan-hubungan sosial dalam situs jejaring sosial jauh lebih luas dan lebih menarik daripada hubungan-hubungan sosial dalam dunia nyata. Itulah kiranya sisi positif, jika boleh dikatakan demikian, dari penggunaan situs jejaring sosial dalam hubungan-hubungan sosial.

Dunia Penuh Risiko

Namun, keterlibatan secara intensif (kecanduan) dalam situs jejaring sosial bisa menimbulkan risiko tersendiri pada kehidupan nyata sehari-hari. Jika kita setiap saat asyik dengan situs jejaring sosial, pada saat itulah hubungan-hubungan sosial kita yang nyata dengan tetangga, keluarga, warga se-RT mulai dipertanyakan. Ia bisa memunculkan semacam paradoks: hubungan sosial yang luas di dunia maya, tetapi hubungan sosial di dunia nyata terbatas.

Risikonya, kita akan menjadi orang yang terasing (teralienasi) di tengah kehidupan sosial sehari-hari yang nyata dengan segala problematikanya, mulai dari tetangga sakit yang tak punya uang untuk berobat, anak yang kesulitan belajar di sekolah hingga istri yang tertekan karena suami lebih nyaman bercakap-cakap dengan orang lain di dunia maya. Pada akhirnya, ia berpotensi untuk menjadi sumber konflik dalam kehidupan nyata dengan tetangga, keluarga, dan sebagainya.

Ada kecenderungan bahwa yang ditampilkan dalam situs jejaring sosial, entah itu foto, gambar, tulisan, kata-kata, adalah sesuatu yang diharapkan bisa memunculkan respons positif dari pengguna situs lainnya. Hal itu bisa berarti citra diri yang baik, cantik, putih, lucu, spontan, pintar, humoris, hebat, penuh perhatian, membuat orang lain penasaran, dan seterusnya.

Jadi, yang ditampilkan bukanlah potret diri yang sesungguhnya. Hal ini dapat dipahami karena citra diri itulah yang akan membuat orang lain membuka akses bagi kita untuk menjadi kawan. Kita pun akan melakukan hal yang sama terhadap orang lain yang ingin menjadi kawan. Kecuali sudah lama kenal, tak ada mekanisme untuk mengecek kebenaran citra diri tersebut. Satu-satunya cara adalah dengan bertemu langsung ("kopi darat" istilah jadulnya).

Pada titik inilah ada kemungkinan kita menyadari telah tertipu atau menipu karena citra diri yang ditampilkan dalam situs jejaring sosial tidak sesuai dengan aslinya. Secara psikologis, hal itu tentu saja tidak mendewasakan karena tidak mendidik orang untuk menampilkan diri apa adanya dan menerima apa adanya pula. Situs jejaring sosial, bagaimanapun, bersifat maya.

Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk pun tidak nyata. Karenanya, tak ada jaminan apakah yang ditampilkan dalam dunia maya itu akan diwujudkan pula secara konsisten dalam kehidupan nyata atau malah sebaliknya. Kita bisa ambil contoh kasus Bibit-Chandra. Dukungan dalam Facebook terhadap Bibit-Chandra lebih dari 1 juta orang. Namun, ketika melakukan demonstrasi (yang nyata), Facebookers yang datang hanya ribuan orang.

Kemenangan Obama dalam Pilpres AS biasanya dijadikan sebagai rujukan betapa ampuhnya situs jejaring sosial dalam menggalang dukungan. Betul bahwa Obama memanfaatkan situs jejaring sosial secara intensif guna meraih dukungan, tetapi jangan dilupakan bahwa pada saat yang bersamaan, bahkan jauh sebelumnya, ia pun melakukan kerja-kerja nyata seperti kerja sosial dan mengorganisasi komunitas di awal karier, lobi, optimalisasi peran sebagai senator, menawarkan gagasan alternatif, dan sebagainya.

Jadi, kombinasi antara kerja di dunia maya dan dunia nyata itulah yang mengantarkannya menjadi Presiden AS. Jika diperhatikan, tak sedikit pengguna situs jejaring sosial yang menghabiskan waktu (dan mungkin juga dana) secara tidak produktif. Tanpa disadari, untuk sesuatu yang remeh-temeh ("mi gorengnya nggak enak", "kuku gw kepotong kependekan", "wah, payah nih dosen, ngajarnya bikin ngantuk", dan sebagainya) aktivitas dalam situs jejaring sosial menggerogoti waktu produktif.

Tak ada yang dihasilkan, selain kenyamanan semu bahwa segalanya tak ada masalah. Padahal, dalam kehidupan nyata, banyak persoalan penting yang akan memengaruhi bukan saja kehidupan sosial, melainkan juga kehidupan pribadi kita seperti angka pengangguran yang tinggi, ancaman banjir, pemberantasan korupsi yang makin payah. Semua itu adalah persoalan nyata, di dunia nyata, yang harus dihadapi dengan cara yang nyata pula, bukan dengan bersembunyi dalam kehidupan dunia maya.

Betapapun canggih dan menarik, situs jejaring sosial hanyalah alat. Ia layaknya pisau yang bisa digunakan untuk memudahkan kerja ketika memotong daging atau untuk membunuh. Ke mana ia akan bergerak, tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran, kitalah yang mempunyai kekuasaan untuk menggunakannya, bukan malah sebaliknya kehidupan kita dikendalikan oleh situs jejaring sosial. Karenanya, situs jejaring sosial mesti dimanfaatkan secara bijak.

Jadi, jika melalui situs jejaring sosial pertemanan meluas, silaturahmi terbangun kembali, bisa mengumpulkan bantuan untuk korban bencana alam, tak ada salahnya menggunakan aneka situs jejaring sosial. Namun, jika ia mulai mengasingkan kita dari kehidupan nyata, menipu diri sendiri, sumber konflik, menggerogoti waktu produktif, inilah saatnya untuk men-deaktivasi-kannya, lalu kembali ke dunia nyata.

Jika tidak, tak ada manfaat yang bakal diperoleh dari aktivitas dalam situs jejaring sosial kecuali keuntungan semu bahwa semuanya baik-baik saja. Pada titik ini, kita cuma membuat pemilik situs jejaring sosial tambah kaya dengan menjadikan hubungan-hubungan sosial kita semata-mata sebagai komoditas.(*)

Andi Rahman Alamsyah
Staf Pengajar Departemen Sosiologi
FISIP UI
 (jri)
Dari artikel diatas disinggung tentang sisi posotof mengenai globalisasi itu sendiri, salah satunya adalah semakin maraknya situs-situs pertemanan diinternet, anda pasti sudah pernah mendengar Facebook bukan ? ini adalah salah satu situs pertemanan terbesar didalam masyarakat, saya sendiri mendapat banyak sekali keuntungan dari situs ini, mendapat teman baru dan bertemu teman semasa SD dan SMP saya yang sudah menyebar ke beberapa kota besar di Indonesia, hal membangkitkan semangat silaturahmi didalam masyarakat kita.

Globalisasi merupakan fenomena runtuhnya batas-batas geografis suatu negara. Maka terjadilah perpindahan nilai-nilai antar satu negara dengan negara lain dengan begitu mudahnya. Itulah mengapa,globalisasi sosial budayasangatlah mungkin untuk terjadi di samping globalisasi informasi dan produk perdagangan.
Namun sayangnya, arus perpindahan tersebut acap kali hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Dalam hal perdagangan internasional misalnya, para kapitalis memanfaatkan globaisasi ini untuk memasarkan produknya ke sejumlah negara yang kurang produktif. Begitu pula dalam ranah sosial budaya, globalisasi sosial budaya yang terjadi merupakan potensi besar bagi munculnya neo-imperialisme. Mungkinkah Anda menjadi korban neo-imperialisme tersebut?
 

Berpacu Dalam Globalisasi
Saat ini proses globalisasi telah mewabah hampir ke seluruh dunia. Segala jenis lalu lintas yang keluar masuk dalam suatu negara sulit untuk dibendung lagi. Seakan-akan dunia telah menjadi satu arena pacuan. Dengan kata lain, ada negara yang menang, ada pula negara yang dikalahkan.
Apabila sudah begini, globaphobia menjadi sesuatu yang menakutkan bagi negara-negara ‘kecil.’ Dan uniknya, kebanyakan dari proses globalisasi ini berlangsung dengan cara yang menyenangkan. Anda perlu bukti? Bukankah Anda merasa senang jika dapat membeli tas vivian dan blouse zandra dari Paris? Bukankah Anda tergiur dengan cellular phone dari Cina yang murah meriah namun tetap capable dan cantik? Hmmm….
Sosial Budaya yang Mengglobal
Banyak sekali terjadi fenomena globalisasi sosial budaya yang terjadi di sekitar kita, tanpa kita menyadarinya. Jika sebelumnya sosial budaya tersebut terbatas pada satu negara, kini sosial budaya itu telah menjelma menjadi wacana dunia. Berikut beberapa diantaranya:

  1. Pengarusutamaan gender

    Pengarusutamaan gender atau gender mainstream merupakan usaha untuk mempopulerkan wacana gender yang kemudian melakukan perubahan di dalamnya. Fenomena sosial yang berawal dari barat ini juga tengah bergelora hangat di negara kita, Indonesia.

    Gender itu sendiri adalah sifat yang melekat pada laki-laki ataupun perempuan, di mana sifat tersebut merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari lingkungan. Otomatis, gender tersebut berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Semisal adalah kebiasaan bekerja dalam keluarga.

    Di Bali, yang bertanggung jawab untuk mencari nafkan keluarga adalah Sang Istri. Sementara di Jawa, mencari nafkah adalah tugas Suami. Berbeda pula dengan daerah-daerah di Amerika dan Eropa, suami dan istri mempunyai peran yang sama dalam mencari uang.
  2. Pola makan junk food

    Disadari maupun tidak, kini makanan cepat saji sudah mulai akrab di lidah kita. Baik itu burger, pizza ataupun fried chicken. Apabila sebelumnya kita cukup dengan sayur asem dan tempe goreng, namun sekarang apa yang terjadi? Minimal harus ada olahan ayam di porsi kita. Junk food memang enak, tapi dampaknya tidak seenak rasanya lho…. Karena dalam jangka panjang, junk food ini bisa membuat Anda sakit ginjal, stroke, gangguan sel-sel otak dan lain sebagainya
  3. Tren dan Fashion

    Ah, terlalu mudah untuk menunjukan betapa gaya penampilan kita disetir oleh fashion dari negara lain. Busana yang terkesan memaksa untuk buka-bukaan sampai pada baju terusan yang menutup sekujur badan. Semua berasal dari negara luar. Coba perhatikan, Adakah orang-orang Indonesia yang memakaipakaian daerahnya dalam kehidupan sehar-hari? Jika memang ada, pasti akan sangat  menggelikan bukan???
Okey, sekarang Anda sudah tahu bahwa aspek sosial dan budaya itu benar-benar telah mengglobal. Dan bahkan Anda juga telah menyadari bahwa selama ini kita keasyikkan menjadi korban imperialisme negara lain. Anda pasti tidak mau terus-terusan membebek negara lain bukan?So, What next? 
Yup, Anda sah-sah saja mengikuti budaya dan kebiasaan negara lain, tapi jangan cuman ditelan mentah-mentah. Sesuaikan dulu denganpancasila plus nilai-nilai agama Anda. Jika bertentangan, tolaklah ia. Tapi jika tidak bertentangan dan Anda merasa nyaman dengannya, lanjutkan…

Sekian dulu tulisan saya ini terimakasih




Comments:

There are 0 komentar for SISTEM INFORMASI, BUDAYA DAN FENOMENANYA DIDALAM MASYARAKAT

Posting Komentar