Kebudayaan dan Masyarakat
Diposting oleh Dhamar Arif Rahman | Label: tugas | Posted On Jumat, 08 Oktober 2010 at 03.40
PENDAHULUAN
Penduduk masyarakat dan kebudayaan adalah konsep-konsep yang pertautannya satu sama lain sangat berdekatan. Bermukimnya penduduk dalam suatu wilayah tertentu dalam waktu yang tertentu pula, memungkinkan untuk terbentuknya masyarakat di wilayah tersebut. Ini berarti masyarakat akan terbentuk bila ada penduduknya sehingga tidak mungkin akan ada masyarakat tanpa penduduk, masyarakat terbentuk karena penduduk. Sudah barang tentu penduduk disini yang dimaksud adalah kelompok manusia, bukan penduduk/populasi dalam pengertian umum yang mengandung arti kelompok organisme yang sejenis yang hidup dan berkembang biak pada suatu daerah tertentu.
Penduduk, dalam pengertian luas diartikan sebagai kelompok organisme sejenis yang berkembang biak dalam suatu daerah tetentu. Penduduk dalam arti luas itu sering diistilahkan populasi dan disini dapat meliputi populasi hewan, tumbuhan dan juga manusia. Dalam kesempatan ini penduduk digunakan dalam pengertian orang-orang yang mendiami wilayah tertentu, menetap dalam suatu wilayah, tumbuh dan berkembang dalam wilayah tertentu pula.
Adapun masyarakat adalah suatu kesatuan kehidupan sosial manusia yang menempati wilayah tertentu, yang keteraturannya dalam kehidupan sosialnya telah dimungkinkan karena memiliki pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan mengatur kehidupannya. Tekanannya disini terletak pada adanya pranata sosial, tanpa pranata sosial kehidupan bersama didalam masyarakat tidak mungkin dilakukan secara teratur. Pranata sosial disini dimaksudkan sebagai perangkat peraturan yang mengatur peranan serta hubungan antar anggota masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara kelompok.
”Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia, ada yang mendefinisikan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya manusia menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, sedangkan rasa mewujudkan segala norma dan nilai untuk mengatur kehidupan dan selanjutna cipta merupakan kemampuan berpikir kemampuan mental yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan”
(selo sumarjan dan sulaiman..s)
PENDUDUK DAN PERMASALAHANNYA
Orang yang pertama mengemukakan teori mengenai penduduk ialah Thomas Robert Malthus. Dalam edisi pertamanya “Essay Population “ tahun 1798. Malthus mengemukakan adanya dua persoalan pokok, yaitu bahwa bahan makanan adalah penting untuk kehidupan manusia dan nafsu manusia tidak dapat ditahan. Bertitik tolak dari hal itu teori Malthus yang sangat terkenal yaitu bahwa berlipat gandanya penduduk itu menurut deret ukur, sedangkan berlipat gandanya bahan makanan menurut deret hitung, sehingga pada suatu saat akan timbul persoalan-persoalan yang berhubungan dengan penduduk.
Disamping itu ada juga yang berpendapat bahwa manusia itu dalam kehidupannya terkait dengan alam atau daerah dimana mereka hidup. Oleh karena itu penduduk dunia itu bertambah karena kelahiran lebih besar dari kematian, sehingga tingkat kelahiran lebih besar dari tingkat kematian. Ini disebabkan karena manusia sebagai mahluk hidup akan selalu berusaha agar mempunyai keturunan dan memperjuangkan hidupnya untuk dapat hidup panjang (berumur panjang) dan ini sering dikenal dengan teori alam tentang pertumbuhan penduduk.
DINAMIKA PENDUDUK
Dinamika penduduk menunjukkan adanya faktor perubahan dalam hal jumlah penduduk yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan penduduk. Penduduk bertambah tidak lain karena adanya unsur lahir, mati, datang dan pergi dari penduduk itu sendiri. Karena keempat unsur tersebut maka pertambahan penduduk dapat dihutung dengan cara : pertambahan penduduk = ( lahir – mati) + ( datang – pergi ). Pertambahan penduduk alami karena diperoleh dari selisih kelahiran dan kematian . Unsur penentu dalam pertambahan penduduk adalah tingkat fertilitas dan mortalitas.
Fertilitas adalah tingkat pertambahan anak yang dihitung dari jumlah kelahiran setiap seribu penduduk dalam satu tahun. Tingkat kelahiran yang dihitung dari kelahiran perseribu penduduk dalam satu tahun merupakan kelahiran secara kasar, sering disebut Crude birth Rate (CBR). Disamping CBR ini dapat juga kita mencari tingkat kelahiran dari wanita umur tertentu yang disebut Age Specifica Fertility Rare (ASFR), yaitu diperhitungkan dari jumlah kelahiran dari tiap seribu wanita dalam usia produktif (tertentu) dalam satu tahun.
Faktor kedua mempengaruhi pertumbuhan penduduk ialah mortalitas atau tingkat kematian secara kasar disebut Crude Date Rate (CDR), yaitu jumlah kematian pertahun perseribu penduduk.
Bagaimana dengan dinamika penduduk Indonesia ?
Untuk memproyeksikan penduduk dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
Pn = (1 + r) n x Po
Pn = jumlah penduduk yang dicari pada tahun tertentu (proyeksi penduduk)
r = tingkat pertumbuhan penduduk dalam prosen
n = jumlah dari tahun yang akan diketahui
Po = jumlah penduduk yang diketahui apa tahun dasar
Sebagai contoh :
Tahun 1961 jumlah penduduk Indonesia 96 juta, dengan tingkat pertambahan penduduk 2,4 5, berapa penduduk Indonesia tahun 2001 ?
Tahun 2001 penduduk Indonesia ( 1 + 2,4/100 ) 40 x 96 juta = 248 juta
KOMPOSISI PENDUDUK
Sensus penduduk yang diadakan 10 tahun sekali oleh pemerintah kita, bukan hanya menghitung jumlah penduduk saja tetapi juga mendata tentang umur penduduk, jenis kelamin penduduk, tingkat pendidikan penduduk, jenis mata pencaharian dan sebagainya. Kesemuanya ini menunjukkan susunan penduduk atau komposisi penduduk dinegara kita pada tahun tersebut. Komposisi penduduk suatu Negara dapat dibagi menurut komposisi tertentu, misalnya komposisi penduduk menurut umur, menurut tingkat pendidikan, menurut pekerjaan dan sebagainya.
Dengan mengetahui komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, dapat disusun/dibuat apa yang disebut piramida penduduk, yaitu grafik susunan penduduk menurut umur dan jenis kelamin pada saat tertentu dalam bentuk pyramid. Golongan laki-laki ada diseblah kiri dan perempuan disebelah kanan. Garis aksisnya (vertical) menunjukkan interval umur dan garis horisontalnya menunjukan jumlah atau prosentasi..
Berdasarkan komposisinya piramida penduduk dibedakan atas :
- Penduduk muda yaitu penduduk dalam pertumbuhan, alasannya lebih besar dan ujungnya runcing, jumlah kelahiran lebih besar dari jumlah kematian
- Bentuk piramida stasioner, disini keadaan penduduk usia muda, usia dewasa dan lanjut usia seimbang, piramida penduduk stasioner ini merupakan idealnya keadaan penduduk suatu Negara
- Piramida penduduk tua, yaitu piramida penduduk yang menggambarkan penduduk dalam kemunduran, pyramid ini menunjukkan bahwa penduduk usia muda jumlanya lebih kecil dibandingkan dengan penduduk dewasa, hal ini menjadi masalah karena jika ini berjalan terus menerus memungkinkan penduduk akan menjadi musnah karena kehabisan. Disini angka kelahiran lebih kecil dibandingkan angka kematian.
PERSEBARAN PENDUDUK
Kecenderungan manusia untuk memilih daerah yang subur untuk tempat tinggalnya, terjadi sejak pola hidup masih sangat sederhana. Itulah maka sejak masa purba daerah sangat subur selalu menjadi perebutan manusia, sehingga tidak salah lagi bahwa daerah yang subur ini kemungkinan besar terjadi kepadatan penduduk. Sudah barang tentu hal semacam ini terjadi didaerah/Negara yang pola hidup penduduknya masih bertani.
Daerah semacam inilah yang kemudian berkembang menjadi daerah perkotaan, daerah tempat pemerintahan, daerah perdagangan dan sebagainya.. prinsip tempat tinggal mendekati tempat bekerja yang secara langsung atau tidak, menimbulkan ketidak seimbangan penduduk ditiap-tiap daerah. Sehingga terjadi daerah yang berpenduduk padat. Dari prinsip itulah kemudian terjadi perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain.
PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan selalu dimiliki oleh setiap masyarakat, hanya saja ada suatu masyarakat yang lebih baik perkembangan kebudayaannya dari pada masyarakat lainnya untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya. Pengertian kebudayaan banyak sekali dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya dikemukakan oleh Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, yang merumuskan bahwa kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk kepntingan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma dan nilai masyarakat yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasarakatan dalam arti luas., didalamnya termasuk, agama, ideology, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia. Yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan piker dari orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan cipta dinamakan kebudayaan rohaniah. Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya, agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar, bahkan seluruh masyarakat.
Dari pengetian tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan keseluruhan dari pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, untuk memenuhi segala kebutuhannya serta mendorong terwujudnya kelakuan manusia itu sendiri.Atas dasar itulah para ahli mengemukakan adanya unsur kebudayaan yang umumnya diperinci menjadi 7 unsur yaitu :
- unsur religi
- sistem kemasyarakatan
- sistem peralatan
- sistem mata pencaharian hidup
- sistem bahasa
- sistem pengetahuan
- seni
Bertitik tilah dari sistem inilah maka kebudayaan paling sedikit memiliki 3 wujud antara lain :
- wujud sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, norma, peraturan dan sejenisnya. Ini merupakan wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, lokasinya ada dalam pikiran masyarakat dimana kebudayaan itu hidup
- kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat
- kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia
Perubahan kebudayaan pada dasarnya tidak lain dari para perubahan manusia yang hidup dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan itu. Perubahan itu terjadi karena manusia mengadakan hubungan dengan manusia lainnya, atau karena hubungan antara kelompok manusia dalam masyarakat. Tidak ada kebudayaan yang statis, setiap perubahan kebudayaan mempunyai dinamika, mengalami perubahan, perubahan itu akibat dari perubahan masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tersebut.
KEBUDAYAAN HINDU, BUDHA DAN ISLAM
Kebudayaan Hindu dan Budha
Pada abad ke-3 dan ke-4 agama Hindu masuk ke Indonesia khususnya ke pulau jawa. Perpaduan atau akulturasi antara kebudayaan setempat dengan kebudayaan Hindu yang berasal dari India itu berlangsung luwes dan mantap. Sekitar abad ke 5, ajaran Budha atau budhisme masuk ke Indonesia, khususnya ke pulau Jawa. Walaupun demikian, kedua agama itu di Indonesia, khususnya di pulau jawa tumbuh dan berkembang berdampingan secara damai. Baik penganut hinduisme maupun budhisme melahirkan karya-karya budaya yang bernilai tinggi dalam seni bangunan/arsitektur, seni pahat, seni ukir maupun seni sastra, seperti tercermin dalam bangunan/arsitektur, relief-relief yang diabadikan dalam candi-candi di jawa tengah ataupun jawa timur.
Kebudayaan Islam
Pada abad ke-15 dan ke-16, agama Islam telah dikembangkan di Indonesia, oleh para pemuka-pemuka Islam yang disebut wali sanga. Titik sentral penyebaran agama islam pada abad itu berada di pulau jawa. Sebenarnya agama Islam masuk ke Indonesia khususnya ke pulau jawa jauh sebelum abad ke -15. suatu bukti bahwa awal abad ke-11 sudah ada wanita Islam yang meninggal dan dimakamkan di Kota Gresik. Masuknya agama Islam ke Indonesia, teristimewa ke pulau jawa berlangsung dalam suasana damai. Hal ini disebabkan karena Islam dimasukkan ke Indonesia tidak dengan paksa, melainkan dengan cara baik-baik. Di samping itu disebabkan sikap toleransi yang dimiliki banga kita.
Pada abad ke-15, ketika kejayaan maritim majapahit mulai surut, berkembanglah negara-negara pantai yang dapat merongrong kekuasaan dan kewibawaan Majapahit yang berpusat pemerintahan di pedalaman. Negara-negara yang dimaksud adalah negara Malaka di semenanjung Malaka, negara Aceh di ujung pulau Sumatra, negara Banten di jawa Barat, negara Demak di pesisir utara jawa tengah, negara Goa di sulawesi selatan. Dalam proses perkembangan negara-negara tersebut yang dikendalikan oleh pedagang-pedagang kaya dan golongan bangsawan kota-kota pelabuhan, nampaknya telah terpengaruh dan menganut ajaran Islam.
Didaerah-daerah yang belum amat terpengaruh oleh kebudayaan Hindu, agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam dalam kehidupan penduduk di daerah yang bersangkutan. misalnya di Aceh, Banten, sulawesi selatan, sumatra Timur, sumatra barat, dan pesisir kalimantan.
.
KEBUDAYAAN BARAT
Unsur kebudayaan yang juga memberi warna terhadap corak lain dari kebudayaan dan kepribadian bangsa indonesia adalah kebudayaan Barat. Awal kebudayaan barat masuk ke negara tercinta ini ketika kaum kolonialisme/penjajah manggedor masuk ke Indonesia, terutama bangsa Belanda. Mulai dari penguasaan dan kekuasaan perusahaan dagang Belanda (VOC) dan berlanjut dengan pemerintahan kolonialisme Belanda, tanah air Indonesia telah dijajah selama 350 tahun. DI pusat kekuasaan pemerintah Belanda, di kota-kota propintsi, kabupaten muncul bangunan-bangunan dengan gaya arsitektur Barat. Dalam kurun waktu itu juga, di kota-kota pusat pemerintahan terutama di jawa, Sulawesi Utara, dan Maluku berkembang dua lapisan sosial. Lapisan sosial pertama terdiri dari kaum buruh dari berbagai lapangan pekerjaan. Lapisan kedua, adalah kaum pegawai. Dalam lapisan sosial kedua inilah pendidikan Barat di sekolah-sekolah dan kemampuan/kemahiran bahasa Belanda menjadi syarat utama untuk mencapai kenaikan kelas sosial.
.
KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIAN
Berbagai penelitian antropologi budaya menunjukkan, bahwa terdapat korelasi diantara corak-corak kebudayaan dengan corak-corak kepribadian anggota-anggota masyarakat, secara garis besar. Opini umum juga menyatakan bahwa kebudayaan suatu bangsa adalah cermin dari kepribadian bangsa yang bersangkutan. Kalau begitu pada sisi mana kebudayaan dapat memberi pengaruh terhadap suatu kepribadian ? jawabnya kita melihat dari sikap pemilik kebudayaan itu sendiri. Manakalai pemilik kebudyaan itu menganggap bahwa segala sesuatu yang terangkum dan terlebur dalam segala materi kebudayaan itu sebagai sesuatu yang logis, normal, serasi, dan selaras dengan kodrat alam dan tabiat asasi manusia dan sebagainya. setiap masayrakat mempunyai sistem nilai dan sistem kaidah sebagai konkretisasinya. Nilai dan sistem kaidah berisikan harapan-harapan masyarakat, perihal perilaku yang pantas. suatu kaidah misalnya kaidah hukum memberikan batas-batas pada perilaku seseorang. batas-batas tersebut menjadi suatau ”aturan permainan” dalam pergaulan hidup.
Sebaliknya segala yang berbeda dari corak kebudayaan mereka, dianggap rendah, aneh, kurang susila, bertentagnan degnan kodrat alam, dan sebagainya.
Contoh : Di indonesia pada umumnya, apabila seorang wanita hamil tidak mempunyai suami, ia adalah profil seseorang yang telah melanggar adat/kebisaaan suatu keluarga, masyarakat, dan bangsa pada umumnya. Budaya/adat istiadat keluarga, masyarakat, dan bangsa Indonesia yang berakar dari ajaran agama, tidak membenarkan dan tidak metolelir hal semacam itu. Jika terjadi semacam itu, baik oleh lingkungan keluarga maupun masyarakat, orang itu akan dikucilkan, dicibir, direndahkan harkatnya. Sebab ia telah melanggar adat/kepribadian keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.
Akan tetapi contoh tersebut jika terjadi di negara Barat atau negara komunis mungkin dianggap biasa saja, mengapa begitu ? sebab, tata budaya dan kepribadian yang dibakukan dalam sistem nilai, sistem kaidah orang-orang barat dan komunis membenarkan kebiasaan / tingkah laku seperti itu. sama sekali bukan merupakan pelanggaran adat istiadat..
sifat-sifat kepribadian yang berakar dari adat istiadat dan ajaran agama pada suatu kelompok masyarakat dapat dikukuhkan sebagai hukum adat.. Di luar dari itu, ciri-ciri kepribadian suatu kelompok masyarakat/bangsa, juga tercermin dalam penampilan sikap hidup sehari-hari.
PRANATA SOSIAL DAN INSTITUSIONALISASI
Untuk menjaga agar hubungan antar anggota masyarakat dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka didalam masyarakat dibedakan adanya : cara atau “usage” kelaziman (kebiasaan) atau “folkways”; tata kelakuan atau “mores”, dan adat istiadat “costom”. Disamping norma-norma yang tidak tertulis dan bersifat informal ini, ada juga norma yang sengaja diciptakan secara formal dalam bentuk peraturan – peraturan hukum. Setiap norma, baik usage, folkways,costom ataupun peraturan hukum yang tertulis, mengikat setiap anggota untuk mematuhinya, hanya saja kekuatan pengikatnya berbeda.
Usage menunjukkan pada suatu bentuk perbuatan, kekutan mengikatnya sangat lemah bila dibandingkan dengan folkways. Usage lebih menonjol didalam hubungan antar individu didalam masyarakat. Penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, hanya celaan dari individu yang dihubungi.
Folkways diartikan sebagai perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama, Contoh, anak-anak yang tidak memberikan hormat kepada orang tua sangsinya jauh lebih berat dibandingkan dengan waktu makan bersama mengunyahnya kedengaran oleh orang lain. Folkways menunjukkan pola berperilaku yang diikuti dan diteima oleh masyarakat.
Apabila folkways ini diterima masyarakat sebagai norma pengatur, maka kebiasaan ini berubah menjadi mores atau tata kelakuan. Mores diikuti tidak hanya secara otomatis kurang berpikir, tetapi karena dihubungkan dengan suatu keyakinan dan perasaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat.. Mores ini disatu pihak memaksakan perbuatan dan dilain pihak melarangnya tata kelakuan yang kekal dan kuat integritasnya dengan pola-pola perilaku masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya menjadi costom, atau adapt istiadat. Anggota masyarakat yang tidak mematuhi adat istiadat akan menerima suatu sangsi yang tegas..
Norma-norma tersebut setelah mengalami proses tertentu pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses institusionalisasi, yaitu suat proses yang dilewati oleh norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan, sehingga norma tersebut oleh masyarakt diterima, dihargai, dan kemudian ditaati dan dipatuhi dalam mengatur kehidupan sehai-hari.
Dr. Koentjaraningrat membagi lembaga sosial/pranata-pranata kemasyarakatan menjadi 8 macam yaitu :
- Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan atau domestic institutions
- Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mata pencaharian hidup ( economic institutions)
- Pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia (scientific institution)
- Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan pendidikan (educational institutions)
- Pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah, menyatakan rasa keindahan dan rekreasi (aesthetic anda recreational institutions)
- Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib (religius institutions)
- Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok atau bernegara (political institutios)
- Pranata yang bertujuan mengurus kebutuhan jasmaniah manusia (cosmetic institutions)
Masalah dalam kebudayaan dan masyarakaat
Sejumlah kegiatan kebudayaan yang bersentuhan dengan pemerintah lebih banyak ditekankan pada orientasi pariwisata. Kebudayaan tak lebih menjadi komoditi. Dengan logika seperti ini, maka perkembangan budaya tak dapatdiharapkan akan menjadi lebih baik. Bukan hanya kebudayaan kemudian akan menjadi artefak dan komoditas belaka, namun juga kebudayaan dalam artian ‘proses’ akan menjadi mandul.
Pandangan yang sering digunakan dalam melihat relasi budaya dan pariwisata adalah kebudayaan sebagai asset yang dapat mengundang turis datang ke tempat kebudayaan itu hidup. Masyarakat dipacu untuk menghidupkan berbagai kesenian dan peristiwa budaya. Dengan berbagai program yang dirancang. Hal ini, saya duga, karena pemerintah memang tidak memiliki definisi dan konsepsi yang jelas mengenai kebudayaan, atau kesenian dalam arti khusus.Ketidakmengertian ini sering kali diikuti dengan penyelenggaraaan peristiwa budaya yang justru melemahkan proses kebudayaan itu sendiri. Tidak sedikit iven kebudayaan yang kemudian malah menjadi bom waktu dengan menyisakan berbagai konflik dan pertentangan diantara pelaku kebudayaan. Misalnya saja, apa yang berbekas dari peristiwa Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi beberapa tahun yang lalu, yang dengan habis-habisan didukung oleh Pemprov Sumatra Barat dan Pemkot Bukittinggi. Rasanya tidak banyak efek yang berbekas dan menjadi inspirasi bagi perkembangan kebudayaan di Sumatra Barat, selain hanya sebagai tuan rumah yang ramah dan kemudian dicatat dalam sejarah kongres berikutnya.
Namun demikian, tetap saja pemerintah atau dinas yang mendapat tanggung jawab dalam ranah kebudayaan menciptakan berbagai iven ini. Setelah sekian banyak peristiwa kebudayaan yang pernah digelar, tak pernah ada kajian atau evaluasi yang kemudian menjadi pijakan pada arah pengembangan proses kebudayaan kita. Seluruh iven atau program digelar secara dadakan dan tanpa persiapan dan orientasi, sehingga tidak betul-betul dapat menjadi acuan dalam program berikutnya.
Inilah yang menjadi perdebatan dalam penyelenggaraan berbagai iven kebudayaan yang digelar oleh pemerintah, sesuatu yang pernah dicap sebagai peristiwa kebudayaan plat merah. Pemerintah memang memiliki kekuatan dalam hal penyediaan dana dan fasilitas. Sesuatu yang kemudian menjadi nilai tawar yang dimiliki pemerintah. Namun kebudayaan tidak hanya dibangun dan didasarkan pada masalah ini saja. Ia menyangkut mentalitas dan elan vital yang dimiliki manusia secara individu dan kolektif.
Saya pernah membaca di suatu surat kabar:
Padang, misalnya, yang menjadi pusat administrasi Sumatra Barat, tidak serta merta dapat menentukan dan mendikte kebudayaan macam apa yang sedang atau akan dikembangkan. Apalagi bila melekatkan kata ‘Minangkabau’ di dalamnya. Karena Kota Padang memang bukan daerah utama yang secara kultural bersangkut paut dengan makna di dalam kata ‘Minangkabau’. Keuntungan yang dimiliki Padang adalah ia menjadi pusat perkembangan dimana kaum intelektual terdidik memilih tinggal di sana, dan pemerintah dengan segala perangkatnya memilih untuk menjadikannya ‘markas besar’.
Saya hanya dapat membayangkan, bagaimana bila Festival Minangkabau atau Pekan Budaya Minangkabau, atau peristiwa dengan nama lain dalam konsepsi yang akan digelar pada akhir bulan November itu dilangsungkan di sebanyak mungkin tempat. Misalnya saja, di Bukittinggi yang kini memiliki perpustakaan mewah itu menjadi tempat sebuah seminar atau kongres, sebagai mana dulu Bukittinggi pernah menjadi ladang pemikiran dan iven intelektual, dengan banyak tokoh dan persitiwa intelektual digelar. Sementara di Payakumbuh digelar pesta sastra dan seni, karena memang Payakumbuh banyak melahirkan seniman dan sastrawan. Untuk kegiatan pertunjukan kontemporer dilangsungkan di STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatra Barat. Dan seterusnya.
Rancangan seperti ini, rasanya pernah digulirkan oleh DKSB dalam programnya. Dan iven itu cukup berhasil, misalnya di Batipuh dan Taeh. Setidaknya masyarakat yang menjadi pelaku dari kebudayaan dapat mengapresiasi dan menumbuhkan inspirasi dan motivasi untuk proses selanjutnya. Masyarakat menjadi gembira dan bangga, karena mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka, kebudayaan mereka, dan apresiasi mereka terhadap kebudayaan dan kesenian. Merekalah pelaku dan penikmat dari kebudayaan dan kesenian itu.
Namun saya hanya dapat membayangkan, sekaligus selalu berharap bahwa kebudayaan kita akan menjadi lebih baik. Dengan saling mendengarkan dan mengkritik kerja-kerja kebudayaan. Dan inilah salah satu bagian dari proses kebudayaan itu. Siapa tahu, nanti akan lebih jelas arah perkembangannya
Di kutip dari : http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_8759/title_masalah-kebudayaan-dalam-masyarakat/
KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT
Pengertian Kebudayaan dan Masyarakat
Kebudayaan
Kebudayaan “cultuur” (bahasa Belanda), “culture” (Bahasa Inggris), berasal dari perkataan latin “colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai segala daya dan aktivitet manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Kebudayaan
Kebudayaan “cultuur” (bahasa Belanda), “culture” (Bahasa Inggris), berasal dari perkataan latin “colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai segala daya dan aktivitet manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Dilihat dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta “budhayyah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan, kebudayaan secara keseluruhan adalah hasil usaha manusia untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya.
Sesuai dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan secara umum adalah suatu kebiasaan yang dilakukan masyarakat pada suatu tempat tertentu yang berlangsung secara turun temurun.
2. Masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang bergabung menjadi sekelompok orang, yang saling hidup bersamaan dan saling tergantung antara satu sama yang lain. Ada teori lain yang menjelaskan tentang syarat-syarat pembentukan suatu masyarakat diantaranya manusia yang hidup bersama, minimal ada 2 orang yang saling hidup bersama, bercampur untuk waktu yang lama, adanya kesadaran akan terikatnya satu sama lainnya, serta adanya aturan-aturan yang mengatur untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.
B. Hubungan Masyarakat dan Kebudayaan
Kebudayaan itu memiliki sifat kompleks, banyak seluk beluknya dan merupakan totalitas, merupakan keseluruhan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum dan lain-lain yang diperoleh manusia di dalam masyarakat. Sehingga dapat diketahui bahwa pencipta kebudayaan adalah manusia. Sedangkan fokus kebudayaan adalah masyarakat.
Sesuai penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa antara masyarakat dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Di dalam masyarakat, kebudayaan itu di satu pihak dipengaruhi oleh anggota masyarakat, tetapi di lain pihak anggota masyarakat itu dipengaruhi oleh kebudayaan, misalnya orang Eropa yang beriklim dingin, terpaksa harus membuat pakaian tebal. Di daerah yang banyak kayu mengharuskan masyarakat untuk membuat rumah dari kayu dan sebagainya. Jika dilihat dari sudut skematik kebudayaan, kebudayaan itu merupakan hasil dari suatu adat dan tradisi yang memiliki aturan-aturan mengikat, yang diciptakan oleh beberapa kumpulan individu sebagai warisan kebudayaan karena faktor tempat tinggal yang mana hasil dari kebudayaan tersebut dengan sengaja atau tidak, sesungguhnya ada dalam masyarakat. Dengan hasil budaya itu, manusia kemudian memiliki kehidupan dan pola kehidupan ini pula dapatlah mempengaruhi cara berpikir dan gerak sosial, contohnya: kehidupan umat Islam di Jawa Tengah dengan Sumatra Barat berlain-lain, sebab pola kehidupan mereka juga lain. Hal ini disebabkan adanya pengaruh kultur (kebudayaan) di daerah itu.
C. Pengertian Relativisme Kebudayaan
Standar-standar tingkah laku berhubungan dengan kebudayaan dimana standar-standar itu berlaku, yaitu suatu gejala yang disebut dengan relativitas kebudayaan. Relativisme kebudayaan menjelaskan apa sebabnya suatu perbuatan tertentu misalnya memakai pakaian tanpa penutup dada dipandang pantas di dalam kebudayaan yang satu tetapi sebaliknya merupakan perbuatan yang seratus persen amoral dalam kebudayaan yang lain. Penjelasan yang sama berlaku juga bagi pandangan-pandangan sehubungan dengan pemerintahan atau agama yang akan dipandang benar dan baik di dalam kebudayaan yang satu, tetapi sebaliknya buruk dan terlarang di dalam kebudayaan yang lain.
Maka dari itu, apa yang dianggap baik atau buruk apa yang diinginkan atau apa yang tidak diinginkan, semuanya itu berkaitan dengan rumusan yang dibuat seseorang menurut situasinya. Hal ini akan dilakukan menurut prasyarat-prasyarat yang ditentukan oleh kebudayaan orang itu. Itulah sebabnya mengapa para ahli ilmu sosial sangat berhati-hati di dalam menganalisa tingkah laku di dalam konteks kebudayaan yang dimaksud.
D. Akibat Adanya Pengaruh Relativisme di Dalam Masyarakat
Sifat relatif dari kebudayaan itu memberikan suatu penjelasan mengenai tingkah laku. Ada 3 perwujudan beserta konsekuensi-konsekuensi tingkah laku sebagai akibat dari prasyarat-prasyarat yang ditentukan oleh kebudayaan itu, yakni:
1. Fanatisme Suku Bangsa (Ethnosentrisme)
Pengamat yang arif, selagi bepergian, selagi bepergian dari negeri yang satu ke negeri yang lain, ia akan melihat bahwa hampir semua individu yang dijumpai akan menganggap bahwa kebudayaannya lebih baik atau lebih tinggi daripada kebudayaan-kebudayaan lainnya dalam satu atau lain hal. Orang Prancis akan membanggakan bahasanya yang indah, orang Italia akan membanggakan musiknya, Orang Amerika membanggakan kekayaan materinya, dan orang timur membanggakan kearifannya yang diwarisinya dari zaman kuno. Tidaklah mengherankan kalau ada bangsa yang satu sangat meninggikan apa yang dimilikinya di atas bangsa-bangsa lain. Etnosentrisme ialah istilah yang dipakai untuk menyatakan kecenderungan untuk menilai kebudayaan-kebudayaan sendiri. Kebanyakan individu, bahkan mereka yang sudah memiliki tingkat pendidikan tinggi, pada satu atau lain saat akan jatuh menjadi korban.
Fanatisme memiliki keuntungan tertentu bagi kestabilan dan keutuhan kebudayaan sifat-sifat kepribadian seperti patriotisme, kesetiaan kepada bangsa dan provinsialisme sangat erat hubungannya dengan etnosentrisme. Sebaliknya selain mengurangi keobyektifan bagi ilmu pengetahuan, etnosentrisme juga menghambat hubungan antara kebudayaan-kebudayaan serta menghambat proses asimilasi kebudayaan (persatu-paduan) antara dua unsur kebudayaan yang merupakan satu campuran senyawa, yang menunjukkan satu gejala pada tingkah laku) antara kelompok-kelompok yang berbeda menjadi suatu bangsa yang besar.
2. Guncangan Kebudayaan (Culture Shock)
Istilah culture shock ini pertama kali dipopulerkan oleh Kalervo Oberg. Ia menggunakan istilah ini untuk menyatakan apa yang ia sebut sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang secara tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri. Oberg mengatakan culture shock itu merupakan suatu bentuk penyakit mental yaitu penyakit yang tidak disadari oleh korbannya. Ia mengatakan bahwa penyakit ini timbul akibat kecemasan karena orang itu kehilangan semua tanda-tanda dan lambang-lambang pergaulan sosial yang sudah ia kenal dengan baik. Jika seribu macam tanda-tanda dan lambang-lambang yang bisa ia pakai untuk mengorientasikan dirinya itu hilang, misalnya kapan harus berjabat tangan, bagaimana cara membeli sesuatu, bagaimana caranya memberikan perintah kepada pembantu, ekspresi-ekspresi yang bagaimanakah yang harus diperlihatkan, dan sebagainya, maka orang itu akan kehilangan kedamaian di dalam pikiran dan efisiensi di dalam kerjanya.
Tahap-tahap yang membentuk siklus kultural shock bagi setiap individu, diantaranya:
• Tahap Bulan Madu
Tanpa waktu orang akan merasakan sebagai suatu pengalaman batu yang menarik, misalnya seseorang yang biasanya hidup di tempat pemukiman tanpa adanya seorang pembantu tiba-tiba ia tinggal di suatu hotel untuk sementara waktu dan ia pun dijamu oleh orang-orang penting setempat.
• Tahap Kritis
Ditandai dengan suatu perasaan dendam. Di sini terlihat bahwa segala sesuatunya tidak beres, misalnya kesulitan bahasa menimbulkan kesulitan terhadap pembantu rumah tangga, dan lain-lain
• Tahap Kesombongan
Korban menjadi bersikap agresif dan bersekutu dengan orang-orang sebangsanya. Misalnya menghina corak kehidupan serta penduduk di situ, dan akan memandang penduduk itu sama buruknya.
• Tahap Emosi
Korban memiliki perasaan kurang mampu berdiri sendiri, mudah marah akan kesalahan-kesalahan kecil yang tidak terelakkan, perasaan kuatir yang berlebih-lebihan, terlalu curiga kepada penyakit yang ringan, jangan-jangan dipercayakan atau dirampok orang.
3. Pertentangan Kebudayaan (Culture Conflict)
Konflik dipandang sebagai unsur normatif dari organisasi-organisasi sosial. Konflik kebudayaan bisa timbul antara anggota-anggota kebudayaan satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain. Hal ini merupakan suatu aspek kebudayaan yang begitu penting sehingga konflik kebudayaan tersebut bisa ditekankan sebagai konsep istimewa. Adapun beberapa faktor yang dapat menimbulkan konflik kebudayaan. Misalnya keyakinan-keyakinan yang berlainan sehubungan dengan sistem pemerintahan, praktek-praktek di bidang perekonomian kehidupan keluarga, dan pendidikan, konflik orang tua dan anak-anaknya yang berumur belasan tahun, sedikit banyak dapat digolongkan ke dalam konflik kebudayaan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh para imigran.
E. Cara yang Paling Tepat Untuk Menyikapi Adanya Pengaruh Relativisme Kebudayaan di Dalam Masyarakat Menurut Pendapat Ahli Sosiologi
1. Menurut pendapat Ch. Dawson, berkata:
“Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan sebaiknya dalam menyikapi pengaruh relativisme kebudayaan tidak berpedoman satu faktor saja melainkan 2 faktor atau lebih yang bersatu padu. Artinya dalam mempelajari atau memperdalam kebudayaan tidak cukup hanya mempelajari salah satu kebudayaan saja, tetapi harus semua kebudayaan.”
2. Menurut pendapat Gillin and Gillin, berkata:
“Di dalam menyikapi pengaruh relativisme kebudayaan, manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan tidak diharuskan untuk terlalu fanatik terhadap kebudayaan yang telah dianut selama ini. Dalam menerima kebudayaan luar perlu selama ini. Dalam menerima kebudayaan luar perlu dilakukan seleksi terlebih dahulu, unsur-unsur mana yang pantas diterima dan elemen-elemen mana yang harus ditolak, yang mana diselaraskan dengan sikap jiwa dan mental bangsa yang bersangkutan.”
3. Menurut pendapat Drs. H. Abu Ahmadi, berkata:
“Untuk menghindari adanya pengaruh relativisme kebudayaan maka setiap individu sebaiknya bisa membedakan antara kebudayaan yang ideal dari sebuah masyarakat yakni (kebudayaan yang menurut para anggotanya mereka miliki dan secara verbal dinyatakan berupa perasaan-perasaan yang abstrak) dan kebudayaan yang nyata dari masyarakat itu yaitu (tingkah laku/aturan yang sesungguhnya diwujudkan di dalam aktivitas mereka sehari-hari).”
Tawuran Merupakan Masalah Sosial Budaya
Mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi mendengarnya. Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari masalah sosial dan budaya bangsa Indonesia. Segala sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan cara damai, jawabannya pasti dengan tawuran. Bukan hanya tawuran antar pelajar atau warga saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak atau elektronik, tetapi aparat pemerintah pun sepertinya tidak ingin ketinggalan pula. Persoalan tawuran banyak di picu oleh hal-hal yang sepele, misalnya kalah main kartu, saling menggoda wanita, saling mengejek dan lain-lain. Perubahan sosial yang diakibatkan karena sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan. Selain itu, menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan sosial.
Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masayarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau sosial. Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain:
1.Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2.Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3.Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4.Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masayarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau sosial. Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain:
1.Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2.Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3.Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4.Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
Sedangkan menurut Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan di media massa, seperti televisi, internet, radio dan surat kabar. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya. Namun yang memutuskan bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau bukan, adalah masyarakat yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas. Dan tingkat keparahan masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan membandingkan antara sesuatu yang ideal dengan realitas yang terjadi (Coleman dan Cresey, 1987). Dan untuk memudahkan mengamati masalah-masalah sosial, Stark (1975) membagi masalah sosial menjadi 3 macam yaitu :
1.Konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan.
2.Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.
3.Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.
1.Konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan.
2.Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.
3.Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.
Tawuran merupakan masalah sosial yang ada di masyarakat baik itu diperkotaan atau di pedesaan sekalipun. Banyak sekali kerugian yang diakibatkan dari tawuran tersebut seperti banyak terjadi kerusakan, rasa tidak aman, kematian dan sebagainya. Namun tetap saja banyak pelaku tawuran yang seakan tidak peduli bahkan merasa bahwa tawuran merupakan jalan keluar untuk mengatasi setiap masalah. Tawuran juga bisa dikatakan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan transmisi budaya juga dapat menyebabkan permasalahan sosial. Cohen dalam bukunya “Delinquent Boys : The Culture of the Gang” (1955) memaparkan hasil penelitiannya. Ia memperlihatkan bahwa anak-anak kelas pekerja mungkin mengalami “anomie” di sekolah lapisan menengah sehingga mereka membentuk budaya yang anti nilai-nilai menengah. Melalui asosiasi diferensial, mereka meneruskan seperangkat norma yang dibutuhkan melawan norma-norma yang sah pada saat mempertahankan status dalam ‘gang’nya
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sebenarnya bisa berperan dalam usaha mengendalikan masalah sosial seperti tawuran yang sering terjadi di tengah masyarakat. Pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan sebagai pihak ketiga yang menegahi masalah tersebut atau pihak yang netral tidak memihak. Peran ini setidaknya bisa diterima secara rasional, karena tidak memihak kepada kedua pihak yang bertikai.Peran sebagai pihak ketiga atau mediator adalah bentuk pengendalian secara kultural. Pengendalian ini berusaha untuk mengendalikan setiap individu atau kelompok untuk “back to habbits”, artinya mengembalikan kelompok yang bertikai kepada norma-norma yang berlaku di daerahnya. “Back to habbits” adalah tahap pertama dalam mengupayakan pengendalian masyarakat yang bertikai. Hal ini penting, karena sebelum kita melangkah ke tahap selanjutnya, setiap kelompok harus menyadari terlebih dahulu bahwa diantara mereka terjadi situasi konflik yang melanggar norma-norma yang berlaku. Kemudian, tahap selanjutnya adalah bagaimana kita bisa melakukan pengarahan, pembinaan, atau bimbingan terhadap masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sebenarnya bisa berperan dalam usaha mengendalikan masalah sosial seperti tawuran yang sering terjadi di tengah masyarakat. Pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan sebagai pihak ketiga yang menegahi masalah tersebut atau pihak yang netral tidak memihak. Peran ini setidaknya bisa diterima secara rasional, karena tidak memihak kepada kedua pihak yang bertikai.Peran sebagai pihak ketiga atau mediator adalah bentuk pengendalian secara kultural. Pengendalian ini berusaha untuk mengendalikan setiap individu atau kelompok untuk “back to habbits”, artinya mengembalikan kelompok yang bertikai kepada norma-norma yang berlaku di daerahnya. “Back to habbits” adalah tahap pertama dalam mengupayakan pengendalian masyarakat yang bertikai. Hal ini penting, karena sebelum kita melangkah ke tahap selanjutnya, setiap kelompok harus menyadari terlebih dahulu bahwa diantara mereka terjadi situasi konflik yang melanggar norma-norma yang berlaku. Kemudian, tahap selanjutnya adalah bagaimana kita bisa melakukan pengarahan, pembinaan, atau bimbingan terhadap masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
* umum.kompasiana.com/2009/07/06/masalah-masalah-sosial
* KAMMI.or.id
* organisasi.org/definisi-pengertian-masalah-sosial-dan-jenis-macam-masalah-sosial-dalam-masyarakat
di kutip dari : http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/tawuran-merupakan-masalah-sosial-dan-budaya-di-masyarakat/
TERIMA KASIH KEPADA DOSEN MATA KULIAH ILMU SOSIAL DASAR SAYA BAPAK
REMIGIUS HARI SUSANTO
Posting Komentar