Dugem dikalangan remaja
Diposting oleh Dhamar Arif Rahman | | Posted On Senin, 18 April 2011 at 23.14
Dugem dikalangan remaja
Dugem atau yang sering disebut dunia gemerlap, adalah sebuah media bagi orang-orang borjuis untuk menghilangkan beban pikiran mereka. awalnya dugem identic degna orang-orang paruh baya, mereka datang berbondong – bonding ke diskotek – diskotek hanya untuk melepas pikiran mereka. seperti tidak kenal batasan usia,kini dugem mulai merambat kekalangan remaja. Sebenarnya apa yang mereka cari ? kali ini saya akan membahas fenomena remaja yang ikut-ikutan dugem ini.
Masa remaja seperti yang kita ketahui adalah masa dimana banyaj sekali rasa ingin tahu akan sesuatu yang baru diketahuinya. Bagi saya sendiri dugem ini lebih condong ke hal – hal yang negative daripada yang positif. Dugem ini sendiri berasal dari kebudayaan barat, yang terbawa oleh arus globalisasi, dugem menuntut para pelakonnya untuk serba cool, trendi, dan mewah, berbeda sekali dengan budaya kita yang sangat senang dengan keserhanaan. Sudah menjadi rahasia umum kalu diskotek – diskotek menjadi salah satu tempat yang rawan pelanggaran hukum. Tempat – tempat seperti ini menjadi sarangnya peredaran narkoba, PSK, dan miras. Karena tempat seperti ini adalah sebuah tempat yang rawan akan pelanggaran hokum, maka remaja – remaja ‘labil’ ini pun akan sangat rawan di goncang dengan hal – hal negative.
Benarkah remaja – remaja ini memang hanya melepaskan kepenatan merka saja ? atau hanya sekedar ikut-ikutan trend, dan bisa memenuhi kriteria funky ?
Berikut adalah klasifikasi remaja dugem yang saya kutip dari slah satu blog
Klasifikasi Remaja Dugem
Dugem alias dunia gemerlap adalah gaya hidup yang menuntut serba keren, cool, trendi dan mewah. Para pegiat dugem ini berusaha abis-abisan untuk tampil prima, khususnya di depan orang lain. Mulai dari bacaan, makanan, busana, tontonan sampai tongkrongan. Kalo bacaan biasanya majalah-majalah yang banyak memuat soal mode, gosip artis en tips bergaul dengan sesama dugemer (aktivis dugem). Ini penting, soalnya kalau seorang remaja dugem ketinggalan berita maka bakalan terlempar dari arena pergaulan para dugemer. Biasanya, yang diobrolin seputar tempat nongkrong yang baru en asyik punya (nggak termasuk WC umum), gosip artis, film bioskop macam Lord of The Ring, kalau olahraga pastinya sepak bola – apalagi menjelang Piala Dunia 2002 –, NBA atau balapan F1. Canggihan dikit mereka bicara soal internet atau handphone keluaran paling anyar. Ngobrolnya bisa di rumah temen yang kagak bikin boring atawa Be-te, atau kalau lagi tajir bisa juga di cafĂ©. Kalau di mesjid kayaknya sih nggak deh, mungkin takut kualat.
Remaja dugem juga kenal klasifikasi alias pembagian golongan. Setidaknya itu yang disurvei oleh Surindo, satu badan survey nasional. Sekurangnya ada delapan segmen psikografis remaja di perkotaan, yang masing-masing mereka diberi nama (1) Remaja funky (15%), Remaja Be-Te (11,7%), Remaja Asal (8,6%), Remaja Plin-Plan (22,7%), Remaja Boring (16,8%), Remaja Ngirit (14,8%), dan Remaja Cool (10,3%).
Dalam surveinya Surindo menyebutkan kalau sebagian segmen ini kelihatan memberi harapan. Ada kelompok remaja yang sangat berhati-hati dalam berbelanja, tak mudah tertipu, mencari informasi sebelum membeli, terencana kritis, punya rasa percaya diri, dan punya perhatian terhadap masalah-masalah sosial. Tapi, sebagian lagi terlihat cemas, ragu-ragu, tak konsisten, tak punya rencana masa depan, bahkan tak percaya orang lain sehingga tak membuka diri atau berorganisasi. Wajar kalau dalam berbelanja mereka sering tertipu (Remaja Be-Te). Bahkan ada yang percaya dirinya rendah, tapi gengsinya tinggi sekali (Remaja Asal). Ada lagi yang plin-plan, pas lagi ngetren lagunya si cewek centil Pink ikut beli kasetnya, Creed ngetop ikutan nembang My Sacrifice biar kelihatan gagah, ada Bond manggung ke Jakarta ikutan nonton. Eh, Goyang Dombret ngetop ikutan juga goyang. Dasar plin-plan.
Nah, kamu masuk klasifikasi yang mana? Moga-moga masuk kelompok yang kesembilan alias golongan RRI, Remaja Rajin Ibadah.
Dalam surveinya Surindo menyebutkan kalau sebagian segmen ini kelihatan memberi harapan. Ada kelompok remaja yang sangat berhati-hati dalam berbelanja, tak mudah tertipu, mencari informasi sebelum membeli, terencana kritis, punya rasa percaya diri, dan punya perhatian terhadap masalah-masalah sosial. Tapi, sebagian lagi terlihat cemas, ragu-ragu, tak konsisten, tak punya rencana masa depan, bahkan tak percaya orang lain sehingga tak membuka diri atau berorganisasi. Wajar kalau dalam berbelanja mereka sering tertipu (Remaja Be-Te). Bahkan ada yang percaya dirinya rendah, tapi gengsinya tinggi sekali (Remaja Asal). Ada lagi yang plin-plan, pas lagi ngetren lagunya si cewek centil Pink ikut beli kasetnya, Creed ngetop ikutan nembang My Sacrifice biar kelihatan gagah, ada Bond manggung ke Jakarta ikutan nonton. Eh, Goyang Dombret ngetop ikutan juga goyang. Dasar plin-plan.
Nah, kamu masuk klasifikasi yang mana? Moga-moga masuk kelompok yang kesembilan alias golongan RRI, Remaja Rajin Ibadah.
Bikin kantong bolong
Apa sih bahayanya dugem? Yang jelas biaya hidup untuk jadi remaja dugem itu nggak kecil. Sebaliknya, justru dengan maraknya gaya hidup dugem ini, udah berapa juta uang melayang. Ujungnya memang menciptakan remaja-remaja borju. Menciptakan rasa persaingan di antara mereka dengan persaingan yang tidak pada tempatnya. Iya dong. Sebab, mereka berlomba dalam dunia gemerlap. Apa nggak puas dengan apa yang dimiliki selama ini? Sehingga kudu berlomba ngadain pesta ultah di diskotik, di hotel berbintang. Atau sekadar gonta-ganti HP, bawa mobil keluaran terbaru. Hmm… itu semua harus ditukar dengan uang. Bukan daun. Sekali lagi uang. Bener-bener bikin tekor deh. Bisa kamu bayangkan, jika untuk tampil dugem, seorang remaja kudu mengeluarkan uang rata-rata 200 ribu perak seminggu. Sebulan udah 800.000 perak minimal duit melayang untuk dugem. Kira-kira, berapa penghasilan ortunya? Kebayangkan gimana hebohnya? Duh, sayang banget uang segitu banyaknya cuma dipake untuk hura-hura.
Teman pembaca, fenomena ini bikin miris kita. Terus terang aja kita prihatin dan merasa kasihan sama teman-teman kita yang udah terlanjur jadi aktivis dugem. Kita khawatir, kalo nanti ada banyak remaja yang perutnya udah nggak bisa lagi menerima makanan murah, karena kebanyakan diisi makanan mahal produk bule. Jangan-jangan pas diisi keluar lagi. Maklum, nggak nyetel lagi. Sebab, udah kebanyak mengkonsumsi makanan kelas atas dengan harga selangit. Wuah?
Nyata banget, dugem emang bikin kantong bolong. Yup, dugem telah menciptakan remaja-remaja yang boros dan nggak menghargai rizki yang selama ini diberikan kepadanya dari Allah Swt. Kasihan banget ya?
Bikin keras hati
Kebanyakan main bareng teman yang sok gengsi dan boros, kudu hati-hati. Bisa-bisa kita jadi ikutan gaya hidupnya. Namanya juga gengsi yang diprioritaskan, nggak heran dong kalo yang dilihat selalu masalah gaya, alias penampilan. Dan untuk itu, uang yang bicara dong. Uang dan uang. Ujungnya, kita bisa jadi nggak peduli sama tetangga kanan-kiri. Tetangga sebelah kanan kita menjerit kelaparan, kita asyik dengan makanan mahal dan doyan nonton konser musik yang karcisnya untuk sekali masuk bisa mencapai harga 100 mangkuk bakso (kalo satu mangkuk bakso harganya Rp 3.500). Hmm… itu hanya untuk memenuhi nafsu dugem kamu aja.
Itu artinya kamu udah puya hati sekeras batu. Kamu nggak gampang terenyuh dengan penderitaan teman or tetangga kamu. Kamu masih bisa tertawa di atas penderitaan orang lain. Ciee… puitis banget kayak Nicholas “Rangga” Saputra (hmm.. maunya).
Teman pembaca, terus terang kita nggak abis pikir. Coba aja bayangin, waktu Jakarta terendam banjir, itu kan pas lagi rame-ramenya launching Film A2DC?, alias Ada Apa dengan Cinta?. Coba, warga Jakarta yang kebanjiran nunggu antrian untuk ditolong, eh, sebagian yang lain, dari kita-kita ini, malah rebutan dan rela antri hanya untuk dapetin karcis bioskop 21. Hanya untuk nonton aksinya Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Hmm.. dunia… dunia.. Lebih parah lagi, sebagian orang seperti nggak peduli dengan banjir dan korban-korbannya malah ngadain peringatan eh pesta (agustusan kaliii?) Valentine’s Day di sejumlah hotel mewah.
Apakah rasa peduli kita udah pudar ditelan jaman? Apa iya kita tega menyaksikan saudara-saudara kita yang lagi menderita? Rasanya, jauh di lubuk hati kita yang paling dalam, mungkin masih tersisa setitik perasaan iba kita. Namun perasaan itu nyaris tak bisa terdeteksi, karena kalah dengan gaya hidup dugem yang emang udah nguasai dirimu.
Benar apa yang dikatakan seorang pengamat bahwa budaya populer memang bergerak begitu cepat, sangat cepatnya, sampai-sampai tanpa sadar kita diminta dengan ikhlas (baca:dipaksa) tunduk dengan logic of capital, logika proses produksi di mana hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap yang cepat laku. Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang sedang berlari dan semua yang selalu berlari satu trek lebih tinggi memang tidak memiliki kesempatan untuk renungan-renungan yang mendalam. Yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli. Nah, lho.
Nah, teman-teman. Apakah kita mau mengorbankan hati nurani, keimanan dan ukhuwah kita hanya untuk mengikuti gaya hidup yang gemerlap tanpa juntrungan? Sayang, kan? [O. Solihin]
Posting Komentar